DEPOK l , penabangsa.comĀ – Margonda, pahlawan kemerdekaan yang namanya diabadikan menjadi ruas jalan utama Kota Depok, adalah pimpinan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI). Namanya memang begitu dikenal, tetapi tidak banyak yang tahu seperti apa dan bagaimana sosok pejuang kemerdekaan itu.
Dengan melihat kenyataan tersebut, Kodim 0508 Depok, dibawah komandan Letkol. Inf. Eko Syah Putra Siregar, bekerjasama dengan seniman dan budayawan muda Putra Gara, mencoba menggali jejak Margonda untuk dijadikan buku.
“Ini langkah awal untuk program kerja saya di Depok terkait dengan Margonda. Karena dari buku ini, kami punya rencana untuk membuat filmnya, patung, dan juga Festival Margonda dalam rangka mengenang jejak perjuangan beliau,” ungkap Regar.
Sementara itu, Putra Gara, jurnalis yang juga presedium Sekber Wartawan Kota Depok dalam menggali sosok Margonda perlu kesabaran, ketelitian, dan juga kemampuan menulis dari sudut pandang yang enak untuk dibaca.
“Untuk menulisnya sih mudah, tetapi untuk penggalian datanya yang memang perlu ekstra kesungguhan. Karena data tertulisnya memang minim,” ungkap Gara, yang juga seorang novelis sejarah.
Dalam sejarahnya, pada 11 Oktober 1945, dua bulan pasca kemerdekaan RI, Margonda bersama pasukan AMRI menyerbu Depok karena wilayah itu tidak mau bergabung dengan Indonesia.
Para pemuda dibawah Komando Margonda mengepung dan berhasil menguasai Depok. Namun tidak lama kemudian sekutu datang dan merebut Depok. Para pejuang mundur menyusun kekuatan. Mereka melakukan serangan balik pada 16 November 1945 dengan sandi perang Serangan Kilat.
“Buku ini menggali sosok seorang Margonda, dan juga sepakterjangnya sebagai pahlawan kemerdekaan,” kata Gara lagi.
Untuk mendapatkan data tersebut, Gara menggali ke Bogor, Depok, Arsip Nasional, Perpustakan Nasional, dan wawancara dengan para pihak.
Gara bertemu dengan Asan Bogeg (95), pasukan laskar pembantu yang berjuang bersama 8 kawannya menjadi pasukan Margonda.
Menurut Asan Margonda dikenal sangat pemberani. Dalam pertempuran 6 kawannya Asan meninggal, satunya tertangkap dan dicongkel matanya oleh Belanda dan sekutu.
Gara juga bertemu dengan Eman Sulaiman (88), seniman dan budayawan Bogor, yang ketika peristiwa tersebut Eman betusia 14 tahun.
Menurut Eman, ketika itu banyak pemuda di Bogor yang ikut Margonda ke Depok untuk mengembalikan Depok kepangkuan ibu pertiwi. Karena pada saat Indonesia merdeka, Depok yang banyak penduduk Belanda, tak mau mengakui kedaulatan RI.
Gara juga bertemu dengan Rd. H. Rahmadi Wangsaatmadja (90), tokoh veteran pejuang kemerdekaan Bogor, salah satu pemuda yang pergi ke Depok masuk menjadi pasukan Margonda
Menurut Rahmadi, begitu Indonesia merdeka, Belanda yang lama menjajah Indonesia belum mau mengakui kemerdekaan RI. Sekutu pun mendompleng ingin kembali duduk di bumi pertiwi. Mereka membagi tugas, Margonda berjuang di Depok, Muslihat di Bogor. Tujuannya adalah bagaimana kedaulatan RI pasca kemerdekaan tetap terjaga. Namun mereka akhirnya gugur di medan perang.
Dari hasil investigasi dan juga wawancara dengan para nara sumber yang kreadibel, beruntung Gara dapat menemukan jejak Jofiatini (73), anak sematawayang Margonda dari perkawinannya dengan Siti Maimunah. Jofiatini sendiri saat peristiwa Gedoran Depok, usianya baru 5 bulan.
“Dari Ibu Jofiatini inilah saya banyak mengkonfirmasi berita terkait Margonda. Pangkat terakhirnya adalah kapten, dan hingga kini, makamnya tak ditemukan. Keluarganya sudah ikhlas, karena menurut Jofiatini, yang terpenting bapaknya masuk surga,” kata Gara.
Buku yang akan dilaunching akhir April ini menurut Regar dan Gara adalah bentuk sumbangsih sebagai anak bangsa untuk warga Depok khususnya, Indonesia umunya, agar kita dapat menghormati jasa para pahlawan.
“Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya,” tutup Regar.*** (Sekber)